KONSEP DASAR PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam
yang besar di Indonesia (gerakan
Islam modernis terbesar di Indonesia). Nama organisasi ini diambil dari nama
Nabi Muhammad
SAW, sehingga Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang menjadi
pengikut Nabi Muhammad SAW. Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman
Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 Nopember 1912 oleh seorang
yang bernama Muhammad Darwis, kemudian dikenal dengan KH. Ahmad Dahlan .
Munculnya muhammadiyah tidak terlepas dari dasarnya. Adapun dasar didirikannya
Muhammadiyah antara lain disebabkan oleh
2 faktor :
1. Faktor
intern. Faktor ini merupakan faktor dasar didirikannya Muhammadiyah, dimana
sikap beragama da system pendidikan Islam masih jauh dari apa yang dirumuskan
oleh ajaran agama. Sikap ajaran umat Islam Indonesia pada saat itu masih
menganut kebudayaan Hindu, Syirik, taklid, bid’ah dan khurafat sangat tertanam
dalam masyarakat muslim. Pendidikan yang diselenggaranpun masih menganut system
tradisional. Jauh tertinggal dari system pendidikan barat, untuk mengantisipasi
hal itu muhammadiyah mendirikan lembaga pendidikan Islam yang menganut system
barat.
2. Faktor
Ekstern. Faktor lain yang mendorong lahirnya pemikiran muhammadiyah adalah
sikap dan politik penjajahan kolonial Belanda yang pendidikannya mengarah
kepada westernisasi dan kristenisasi. Dengan adanya usaha itu maka muhammadiyah
mencoba melakukan hal yang sama untuk mengantisipasi kegiatan sosial, politik
dan agama yang dijalankan oleh Zending Belanda.
Dengan kedua dasar di
atas, organisasi yang dipimpin oleh K.H Ahmad Dahlan mencoba meniru kerja
Zending yaitu mendirikan lembaga pendidikan, rumah miskin, rumah sakit dan
lain-lain. Dengan adanya kegiatan social yang demikian, muhammadiyah tumbuh
menjadi organisasi social yang keagamaan ditengah-tengah masyarakat muslim
Indonesia. Berkat pengalamannya dalam organisasi begitu luas muhammadiyah
begitu cepat berkembang sampai keluar Yogyakarta.
Ketidakmurnian ajaran islam yang
dipahami oleh sebagian umat islam Indonesia, sebagai bentuk adaptasi tidak
tuntas antara tradisi islam dan tradisi lokal nusantara dalam awal bermuatan
faham animisme dan dinamisme. Sehingga dalam prakteknya umat islam di indonesia
memperlihatkan hal-hal yang bertentangan dengan prinsif-prinsif ajaran islam,
terutama yang berhubuaan dengan prinsif akidah islam yag menolak segala bentuk
kemusyrikan, taqlid, bid’ah, dan khurafat. Sehingga pemurnian ajaran menjadi
piliha mutlak bagi umat islam Indonesia. Keterbelakangan umat islam indonesia dalam segi
kehidupan menjadi sumber keprihatinan untuk mencarikan solusi agar dapat keluar
menjadi keterbelakangan. Keterbelakangan umat islam dalam dunia pendidikan
menjadi sumber utama keterbelakangan dalam peradaban. Pesantren tidak bisa
selamanya dianggap menjadi sumber lahirnya generasi baru muda islam yang
berpikir moderen. Kesejarteraan umat islam akan tetap berada dibawah garis
kemiskinan jika kebodohan masih melengkupi umat islam indonesia.
Lebih dari satu abad,
Muhammadiyah mengelola amal usaha pendidikan, karena sebelum Muhammadiyah berdiri
KH. Ahmad Dahlan sudah mendirikan madrasah dengan bahasa Arab sebagai
pengantar dan setelah itu pada tanggal 1 Desember 1911 beliau mendirikan
sekolah dasar di lingkungan Kraton Yogyakarta dengan mengajarkan mata
pelajaran umum. Hal ini yang menunjukkan bahwa Muhammadiyah telah melakukan
gerakan pendidikan lebih awal dibandingkan dengan yang dilakukan organisasi
lain bahkan sejarah mencatat bahwa Muhammadiyah telah mampu mendirikan
sekolah jauh sebelum Negara Indonesia berdiri dan mendeklarasikan misinya untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk mendukung
usaha KH Ahmad Dahlan untuk memurnikan ajaran Islam yang dianggap banyak
dipengaruhi hal-hal mistik. Kegiatan ini pada awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa pengajian Sidratul
Muntaha. Selain itu peran dalam pendidikan diwujudkan dalam pendirian sekolah
dasar dan sekolah lanjutan, yang dikenal sebagai Hooge School Muhammadiyah dan
selanjutnya berganti nama menjadi Kweek School Muhammadiyah
Pendidikan
Muhammadiyah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari gerakan
Muhammadiyah. Dari pendidikan Muhammadiyah ini diharapkan akan muncul
kader-kader Muhammadiyah yang mampu mengemban misi selaku khalifatullah fil ardl.
Oleh karena itu, dalam upaya mewujudkan misi tersebut diperlukan suatu
pendidikan yang berorientasi pada pencapaian visi keunggulan dalam kepribadian
(iman dan taqwa serta akhlaq mulia), kompetensi keilmuan, dan keterampilan. Dasar
pendidikan Muhammadiyah berpedoman pada Al-Quran dan Hadits. Dengan dasar dan
pedoman tersebut akan membentuk manusia muslim yang berakhlak mulia, cakap,
percaya pada diri sendkiri, dan berguna bagi masyarakat.
Menurut KH. Ahmad
Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat islam dari pola berpikir yang
statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Pendidikan
hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat.
Upaya mengaktualisasikan gagasan tersebut maka konsep pendidikan KH. Ahmad
Dahlan ini meliputi :
1. Tujuan Pendidikan
Menurut KH.
Ahmad Dahlan, pendidikan islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia
muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham
masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya.
Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari tujuan pendidikan yang
saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah
model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan utnuk
menciptakan individu yang salih dan mengalami ilmu agama. Sebaliknya,
pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekuler yang didalamnya
tidak diajarkan agama sama sekali. Akibat idealisme pendidikan tersebut
lahirlah dua kutub intelegensia : lulusan pesantren yang menguasai agama tetapi
tidak menguasai ilmu umum dan sekolah Belanda yang menguasai ilmu umum tetapi
tidak menguasai ilmu agama. Melihat ketimpangan tersebut KH. Ahamd
Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan
individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spritual
serta dunia dan akhirat.
2. Materi pendidikan
Berangkat dari tujuan pendidikan
tersebut KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan
hendaknya meliputi:
a. Pendidikan
moral, akhalq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik
berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b.
Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu
yang utuh yang berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara
keyakinan dan intelek serta antara dunia dengan akhirat.
c. Pendidikan
kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan
hidup bermasyarakat.
3. Model Mengajar
Di dalam
menyampaikan pelajaran agama KH. Ahmad dahlan tidak menggunakan pendekatan yang
tekstual tetapi konekstual. Karena pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan
atau dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan
kondisi.
-
Cara
belajar-mengajar di pesantren menggunakan sistem Weton dan Sorogal, madrasah
Muhammadiyah menggunakan sistem masihal seperti sekolah Belanda.
-
Bahan
pelajaran di pesantren mengambil kitab-kitab agama. Sedangkan di madrasah
Muhammadiyah bahan pelajarannya diambil dari buku-buku umum.
-
Hubungan
guru-murid. Di pesantren hubungan guru-murid biasanya terkesan otoriter karena
para kiai memiliki otoritas ilmu yang dianggap sakral. Sedangkan madrasah
Muhammadiyah mulai mengembangkan hubungan guru-murid yang akrab.
Nilai-nilai
dasar pendidikan Muhammadiyah didasarkan pada kebenaran, pencerahan dan budi
pekerti yang baik. Pendidikan
Muhammadiyah juga mengemban misi kemanusiaan dan misi dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Cita-cita pendidikan yang digagas
Kyai Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia baru yang mampu tampil sebagai
“ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seorang muslim yang memiliki
keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani. Dalam rangka
mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, Kyai Dahlan melakukan dua
tindakan sekaligus; memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda yang
sekuler, dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana agama dan pengetahuan
umum bersama-sama diajarkan. Kedua tindakan itu sekarang sudah menjadi fenomena
umum; yang pertama sudah diakomodir negara dan yang kedua sudah banyak
dilakukan oleh yayasan pendidikan Islam lain. Namun, ide Kyai Dahlan tentang
model pendidikan integralistik yang mampu melahirkan muslim ulama-intelek masih
terus dalam proses pencarian. Sistem pendidikan integralistik inilah sebenarnya
warisan yang musti kita eksplorasi terus sesuai dengan konteks ruang dan waktu.
Metode pembelajaran yang dikembangkan Kyai Dahlan
bercorak kontekstual melalui proses penyadaran. Contoh klasik adalah ketika
Kyai menjelaskan surat al-Ma’un kepada santri-santrinya secara berulang-ulang
sampai santri itu menyadari bahwa surat itu menganjurkan supaya kita
memperhatikan dan menolong fakir-miskin, dan harus mengamalkan isinya. Setelah
santri-santri itu mengamalkan perintah itu baru diganti surat berikutnya. Ada
semangat yang musti dikembangkan oleh pendidik Muhammadiyah, yaitu bagaimana
merumuskan sistem pendidikan ala
al-Ma’un sebagaimana dipraktekan Kyai Dahlan.
(RIA FAZRIA – 7H)