Pendidik dalam islam
a. Pengertian pendidik
Dalam kamus bahasa indonesia dinyatakan, bahwa pendidikan adalah orang yang mendidik. Dalam pengertian yang lazim di gunakan, pendidikan adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberikan pertolongan pada peserta didiknya dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri dan memenuhi tingkat kedewasaannya, mampu berdiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah SWT, dan mampu melakukan tugas sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk individu yang mandiri.
Sebagai kosakata yang bersifat generik, pendidikan mencakup juga guru, dosen, dan guru besar. Guru adalah pendidikan profesional dengan tugas utama pendidikan, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Adapun dosen adalah pendidikan profesional dan ilmuan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, guru besar atau profesor yang selanjutnya di sebut profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi.
Di dalam al-Qur’an dan as-sunah yang merupakan sumber utama ilmu pendidikan islam, terdapat sejumlah istilah yang mengacu kepada pengertian pendidik. Istilah tersebut antara lain al-murabbi, al-muallim, al-muzakki, al-ulama, al-rasikhun fi al-‘ilm, ahl-al-dzikr, al-muaddib, al-mursyid, al-ustadz, ulul al-bab, ulu al-nuha, al-faqih, dan al-muwai’id.
Istilah al-murabbi antara lain dijumpai dalam surat al-isra’ ( 17 ) ayat 24, yang artinya:
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagai mana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”
Istilah al-murabbi pada ayat tersebut diartikan sebagai pendidik. Istilah ini walaupun maknanya sudah digunakan, namun kosakatanya masih jarang digunakan, dibandingkan dengan kosakata lainya.
Selanjutnya istilah al-mu’allim, antara lain dijumpai dengan surat al-baqarah (2) ayat 151, istilah al-mu’allim pada ayat tersebut diartikan sebagai pengajar, yakni memberi informasi tentang kebenaran dan ilmu pengetahuan.
Dalam pada itu istilah al-muzakki dijumpai pada surat al-baqarah (2) ayat 129, istilah al-muzakki pada ayat 129 surat al-baqarah dan ayat 164 surat ali’imran diartikan sebagai orang yang melakukan pembinaan mental dan karakter yang mulia, dengan cara membersihkan si anak dari pengaruh akhlak yang buruk, terampil dalam mengendalikan hawa nafsu.
Selanjutnya istilah al-ulama dijumpai pada surat at-fathir ( 15 ): ayat 27-28. Istilah ulama selain menggambarkan sebagai orang yang paling takut (bertakwa) kepada Allah dan mendalami ilmu agama, juga sebagai orang peneliti (researcher) dan scientis, yakni sebagai seorang peneliti yang menghasilkan berbagai temuan dalam bidang ilmu agama.
Adapun istilah al-rasikhun fi’ilm dijumpai pada surat ali-imran (3): ayat 7, istilah al-rasikhun fi al-ilm diartikan orang yang tidak hanya dapat memahami makna, pesan ajaran, spirit, jiwa, kandungan, hakikat, substasi, inti dan esensi dari segala sesuatu.
Selanjutnya istilah ahl-aldzikr dijumpai pada surat al-nahl (16) ayat 43 dan al-ambiya’ (21) ayat 7, istilah ahl-aldzikir diartikan sebagai orang yang menguasai ilmu pengetahuan atau ahli penasihat, yaitu mereka yang pandai mengingatkan.
Adapun istilah ulu al-bab pada surat ali-imran ayat 190-191, diartikan sebagai bukan hanya orang yang memiliki daya pikir dan daya nalar, melainkan juga daya zikir dan daya spiritual.
Selanjutnya istilah al-muaddib diartikan sebagai orang yang memiliki akhlak dan sopan santun, seorang yang terdidik dan berbudaya, sehingga ia memiliki hak moral dan daya dorong untuk memperbaiki masyarakat.
Adapun istilah mursyid dijumpai pada surat al-baqarah ayat 186, pada ayat tersebut seorang mursyid adalah orang yang yarsyudun, yakni selalu berdoa kepada Allah SWT, dan senantiasa melaksanakan dan memenuhi panggilannya.
Selanjutnya istilah al-muwa’idz dijumpai pada surat luqman ayat 13, istilah al-muwa’idz diartikan sebagai pemberi pelajaran yang bersifat nasihat spiritual kepada manusia, agar manusia tersebut tidak menyekutukan tuhan.
Adapun istilah al-faqih diartikan sebagai orang yang memiliki pengetahuan agama yang mendalam.
Adanya berbagai istilah tersebut diatas menunjukan bahwa seorang pendidik dalam ajaran islam memiliki peran dan fungsi yang amat luas.
b. Syarat-Syarat Menjadi Tenaga Pendidik
1. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme
2. Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia
3. Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas
4. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas
5. Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan
6. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja
7. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat
8. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan
9. Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.
Selain itu, sebagai pendidik juga harus memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
A. Pengertian Peserta Didik
Peserta didik dalam pendidikan Islam adalah indidvidu yang sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik, psikologis, sosial, dan religuis dalam mengarungi kehidupan di dunia dan di akhirat kelak. Peserta didik tidak hanya melibatkan anak-anak, tetapi juga orang dewasa.
di dalam ajaran Islam, terdapat berbagai istilah yang berkaitan dengan peserta didik. Istilah tersebut antara lain tilmidz (jamaknya talamidz), murid, thalib (jamaknya al-thullab), dan muta’allim.
Secara etimologi kosakata tilmidz (jamak talamidz) yang berarti murid laki-laki, atau tilmidzah (jamaknya talamidzah) yang berarti murid perempuan. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk menunjukkan perserta didik yang berada pada tingkat madrasah awaliyah atau sekolah permulaan pada Taman Kanak-kanak (TK) atau Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) dan yang sejenisnya.
Istilah murid lebih lanjut digunakan bagi pengikut ajaran tasawuf, dan berarti orang yang mencari hakikat kebenaran spiritual di bawah bimbingan dan arahan seorang pembimbing spiritual (mursyad). Istilah murid lebih lanjut digunakan pada seseorang yang sedang menunjuk ilmu pada tingkat sekolah dasar, mulai dari Ibtidaiyah sampai Aliyah.
Adapun menurut istilah tasawuf, thalib adalah orang yang sedang menempuh jalan spiritual dengan cara menempa dirinya dengan keras untuk mencapai derajat sufi. Istilah thalib selanjutnya digunakan untuk peserta didik yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi.
Adapun istilah muta’allim berasal dari kata allama yu’allimu muta’alliman, yang berarti orang yang sedang menuntut ilmu. Kata muta’allim antara lain digunakan oleh Burhanuddin al-Jarnuzi dalam kitabnya Ta’alim al-Muta’allim, yaitu sebuah kitab yang berisi kode etik dan petunjuk sukses bagi para pencari ilmu di pesantren. Hingga kini kitab tersebut masih dipelajari di berbagai pesantren.
B. Karakteristik Peserta Didik
Karakteristik peserta didik dapat dibedakan berdasarkan tingkat usia, kecerdasan, bakat, hobi, dan minat, tempat tinggal dan budaya, serta lainnya.
1. Karakteristik Peserta Didik Berdasarkan Tingkat Usia
a. Tahapan asuhan (usia 0-2 tahun) atau neonates. pada fase ini belum dapat diterapkan interaksi edukasi secara langsung. Berkenaan dengan itu, dalam ajaran Islam terdapat sejumlah tradisi keagamaan yang dapat diberlakukan kepada peserta didik, antara lain dengan memberi azan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri pada saat baru lahir (HR. Abu Ya’la dari Husain bin Ali). Azan dan iqamat ibarat password untuk membuka system saraf rohani agar anak teringat pada Tuhan yang pernah diikrarkannya ketika berada di alam arwah (QS. Al-A’raf: 172). Selain itu dilakukan aqiqah, sebagai tanda syukur, pengorbanan dan kepudilian terhadap bayinya, agar anaknya menjadi anak yang saleh; member nama yang baik, sebab nama adalah doa bagi yang diberi nama, memberikan madu yang melambangkan makanan yang halal dan baik, member air susu ibu, menggambarkan makanan yang sehat dan bergizi, serta kedekatan anak dan orangtua.
b. Tahapan jasamani (usia 2-12 tahun), fase ini disebut fase kanak-kanak (al-thifl/shabi), yaitu masa neonates sampai dengan masa mimpi basah (polusi). Pada tahap ini, anak mulai memiliki potensi biologis, pedagogis, dan psikologis, sehingga seorang anak sudah mulai dapat dibina, dilatih, dibimbing, diberikan pelajaran dan pendidikan yang disesuaikan dengan bakat, minat dan kemampuannya.
c. Tahap psikologis (usia 12-20 tahun). Tahap ini disebut juga fase tamyiz, yaitu fase anak mulai mampu membedakan antara yang baik dan buruk, benar dan salah, dan fase baligh, atau tahap mukalaf, yaitu tahap berkewajiban menerima dan memikul beban tanggung jawab (taklif).
d. Tahap dewasa (usia 20-30 tahun). Tahap ini seorang sudah tidak disebut lagi anak-anak atau remaja, melainkan sudah disebut dewasa dalam arti yang sesungguhnya, yakni kedewasaan secara biologis, sosial, psikologis, religious, dan sebagainya.
e. Tahap bijaksana (usia 30 sampai akhir hayat). Pada fase ini manusi telah menemukan jati dirinya yang hakiki, sehingga tindakannya sudah memiliki makna dan mengandung kebijaksanaan yang mampu memberi naungan dan perlindungan bagi orang lain.
2. Karaktersitik Peserta Didik Berdasarkan Teori Fitrah
Di dalam al-Qur’an Allah SWT menyatakan:
Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama dengan selurus-lurusnya (sesuai dengan kecenderungan aslinya); itulah fitrah Allah, yang Allah menciptakan manusia di atas fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah itulah agama yang lurus. Namun kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. (QS al-Rum: 30)
Selanjutnya di dalam hadisnya, Rasulullah SAW menyatakan:
“Setiap anak yang dilahirkan memiliki fitrah, sehingga kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”(HR. Al-Aswad bin Sari)
Ayat dan hadis tersebut sering digunakan oleh para pakar pendidikan Islam untuk membangun teori fitrah manusia, yaitu seperangkat kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan berkembang. Di dalam pandangan Islam firah mengandung makna kejadian yang di dalamnya berisi potensi dasar beragama yang benar dan lurus (al-dien al-qayyim), yaitu Islam. Potensi dasar ini tidak dapat diubah oleh siapa pun atau lingkungan apa pun, karena fitrah itu merupakan ciptaan Allah yang tidak akan mengalami perubahan baik isi maupun bentuknya dalam tiap pribadi manusia.
Pendidikan dalam Islam berdasar pada pandangan theo-anthropo centris, yakni perpaduan antara usaha manusia dan kehendak Tuhan. Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa fitrah yang ada pada manusia adalah sesuatu yang bersifat orisinil, netral, dan ideal. Fitrah tersebut meliputi potensi rasa ingin tahu dan mencintai kebenaran; potensi rasa menyukai dan mencintai pada kebaikan; dan potensi rasa menyukai dan mencintai keindahan. Rasa ingin tahu dan mencintai keindahan, mendorong seseorang untuk mengembangkan daya imajinasi dan daya rasanya yang selanjutnya menimbulkan seni. Perpaduan antara ilmu, akhlak, dan seni itulah yang akan membawa kemajuan yang tidak akan menyimpang dan tidak akan merusak moral manusia.
Fitrah ini adalah adanya kecenderungan alamiah yang bersifat naluri (insting), yang menurut teori Maslow, terdiri dari naluri ingin tahu (curiosity), ingin dihormati (digrity), ingin dicintai (lovely), ingin memiliki sesuatu yang bersifat materi (hedonistik), ingin mendapatkan rasa aman (security), ingin mendapatkan kekuasaan (otority), ingin mendapatkan keindahan (estetika) dan kebaikan (etika).
3. Karakteristik Peserta Didik Berdasarkan Tingkat Kecerdasaran
Hasil penelitian yang dilakukan Binet Simon terhadap Intelligence Quotient (IQ) manusia, menunjukkan bahwa IQ yang dimilki oleh setiap manusia berdea-beda antara satu dengan lainnya.Perbedaan IQ ini mengharuskan adanya perbedaan dalam memberikan pendidikan dan pengajaran. Orang yang genius penyampaian pelajaran lebih ideal jika dilakukan dengan pendekatan pada peserta didik. Orang yang idiot, debil dan embisil, penyampaian pelajaran lebih cocok jika dilakukan dengan metode dan pendekatan yang berpusat pada guru. Adapun kepada orang yang IQ-nya biasa saja dapat dilakukan metode dan pendekatan yang menggabungkan antara aktivitas guru dan aktivitas murid, seperti dengan menggunakan metode diskusi, tanya jawab, seminar, dramatisasi, dan sebaginya.
4. Karakteristik Peserta Didik Berdasarkan Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya
Yang dimaksud dengan kondisi sosial ekonomi adalah kondisi objektif tentang kemampuan ekonomi peserta didik, serta status sosial yang mereka miliki. Dengan mengetahui latar belakang sosial ekonomi dan budaya tersebut, maka seorang guru dapat menentukan metode dan pendekatan yang tepat dalam memperlakukan mereka, serta membangun komunikasi yang tepat, wajar dan proposional, tanpa ada maksud untuk memberikan perlakuan yang istimewa anatar satu dan lainnya, atau menampakkan sikap dan perlakuan yang deskriminatif di antara mereka. Seorang juga dapat menciptakan sebuah keadaan atau sebuah kegiatan yang memungkinkan setiap anak yang berasal dari latar belakang sosial ekonomi dan budaya yang berbeda-beda. Kepada mereka juga perlu dijelaskan bahwa semua latar belakang tersebut sifatnya sementara, bisa datang dan pergi, sebagai amanah dari Tuhan, dan bukan merupakan hal yang inti dan hakiki. Seluruh manusia di hadapan Tuhan sederajat, sedangkan penghargaan dan penghormatan yang diberikan kepadanya berdasarkan kualitas iman, takwa, moral, dan prestasinya bagi kemanusiaan.
C. Akhlak Peserta Didik
Akhlak peserta didik bukan hanya sekedar hal-hal yang berkaitan dengan ucapan, sikap, dan perbuatan yang harus ditampakkan oleh peserta didik dalam pergaulan di sekolah dan di luar sekolah, melainkan berbagai ketentuan lainnya yang memungkinkan dapat mendukung efektivitas proses belajar mengajar. Pengetahuan terhadap akhlak peserta didik ini bukan hanya perlu diketahui oleh setiap peserta didik ini bukan hanya perlu diketahui oleh setiap peserta didik dengan tujuan agar menerapkannya, melainkan juga perlu diketahui oleh setiap pendidik, dengan tujuan agar dapat mengarahkan dan membimbing para peserta didik untuk mengikuti akhlak tersebut.
Akhlah peserta didik terhadap Tuhan antara lain berkaitan dengan kepatuhan dalam melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Akhlak peserta didik dengan manusia, antara lain berkaitan dengan kepatuhan dalam melaksanakan semua perintah orangtua dan guru, menaati peraturan pemerintah, menghargai dan menghormati kerabat, teman dan manusia pada umumnya, adat istiadat dan kebiasaan positif yang berlaku di masyarakat. Akhlak peserta didik terhadap alam, antara lain berkaitan dengan kepedulian terhadap pemeliharaan lingkungan alam dan lingkungan sosial, seperti peduli terhadap kebersihan, ketertiban, keindahan, keamanan, dan kenyamanan.
Selain akhlak umum ada juga akhlak yang secara khusus berkaitan dengan tugas dan fungsi sebagai peserta didik. Imam Ghazali, sebagaimana dikutip Fathiyah Hasan Sulaiman misalnya menganjurkan agar peserta didik memiliki niat ibadah dalam menuntut ilmu, menjauhi kecintaan terhadap duniawi (zuhud), bersikap rendah hati (tawadlu), menjauhkan diri dari pemikiran para ulama yang saling bertentangan, mengutamakan ilmu-ilmu yang terpuji untuk kepentingan akhirat dan dunia, memulai belajar dari yang mudah menuju yang sukar, dari yang konkret menuju yang abstrak, dari ilmu yang fardhu ‘ain menuju ilmu yang ardhu kifayah, tidak berpindah pada pelajaran yang lain sebelum mentuntaskan pelajaran yang terdahulu, mengedepankan sikap ilmiah dalam mempelajari suatu ilmu, mendahulukan ilmu agama daripada ilmu umum, mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, serta mengikuti nasihat pendidik.
Mohammad Athiyah al-Abrasyi lebih jauh menyebutkan dua belas kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap peserta didik. Kedua belas kewajiban tersebut ialah;
- Membersihkan diri dari sifat-sifat tercela
- Memiliki niat yang mulia
- Meninggalkan kesibukan duniawi
- Menjalin hubungan yang harmonis dengan guru
- Menyenangkan hati guru
- Memuliakan guru
- Menjaga rahasia guru
- Menunjukkan sikap sopan dan santun kepada guru
- Tekun dan bersungguh-sungguh dalam belajar
- Memilih waktu belajar yang tepat
- Belajar sepanjang hayat
- Memelihara rasa persaudaraan dan persahabatan
Selanjutnya Burhan al-Din al-Zarnuji mengemukakan pendapat Ali bin Abi Thalib tentang enam hal penting yang perlu dilakukan oleh peserta didik melalui syairnya sebagai berikut:
Ingatlah! Engkau tidak akan memperoleh ilmu, kecuali dengan enam syarat; aku akan menjelaskan keenam syarat itu padamu, yaitu kecerdasan, motivasi yang kuat, kesabaran, modal, petunjuk guru, dan masa yang panjang.
(Wiwi Marwiyah, Wirdatul Qamariah, dan Tiara Rakhma)
0 komentar:
Posting Komentar